Loading...

SBDJ Siri 171: Mia, Gadis Harimau

Loading...
Tanpa membuang masa, secara perlahan-lahan saya dan Andi Kamarool bergerak ke arah Mia. Di saat kami mendekatinya, Mia berusaha menjauhkan diri. Dia seolah-olah memberitahu, agar dirinya jangan diganggu. Tindakan Mia sungguh mengejutkan. Bahu kiri Andi Kamarool segera saya singgung.

Toyol jadi-jadian


"Hati-hati saja Tamar," bisik Andi Kamarool.

Saya anggukkan kepala.

Tanpa ambil kisah atas kehadiran kami, Mia terus melangkah ke bahagian kepala kubur. Kami bertukar pandangan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam cuaca samar yang kian memberat itu, kelihatan dedaun buluh yang tua berguguran, meskipun pada saat itu angin tidak bertiup. Dedaun buluh yang gugur terus tersadai atas batu kuburan.

"Bagaimana Andi?" tanya saya perlahan.

"Berdiri di sini, kita tengok apa yang dibuatnya."

"Baiklah," jawab saya lemah.

Mia terus melangkah ke bahagian kepala kubur. Berdiri di situ sambil memeluk tubuh. Beberapa minit kemudian, dia terus melutut sambil menundukkan kepala.

Saya jadi resah, bila melihat sepasang bibir Mia bergerak pantas. Dia seolah-olah berdialog dengan longgokan batu yang kaku.

Kalau tadi, saya melihat dedaun buluh yang tua gugur, kini saya menyaksikan pula dedaun buluh yang muda dan segar berjatuhan.

Pepohon buluh bagaikan digoncang oleh sesuatu. Saya kira makhluk yang menggoncang perdu buluh itu, mestilah makhluk yang luar biasa besarnya dengan kekuatan yang tidak dapat diramalkan.

"Andi, kita dalam bahaya," dalam resah saya berbisik lagi.

"Bertenang Tamar, kita tengok sampai habis apa yang dibuatnya."

"Aku bimbang Andi."

"Usah bimbang, bertenanglah Tamar."

Saya kembali menumpukan perhatian kepada Mia dan saya lihat Mia yang melutut memanfaatkan jari telunjuk kanannya, menjolok-jolok tanah melalui celah-celah batu gunung dan sungai yang berlonggokan.

Kemudian, kedua belah tangannya digenggam (penumbuk) dan longgokan batu di depan ditumbuknya bertubi-tubi.

Mia sudah kesurupan (tidak sedarkan diri) rambutnya yang panjang mula menggerbang, menutup seluruh wajah dan sebahagian dadanya.

Di saat perhatian saya dan Andi Kamrool tertumpu kepada Mia, terdengar desiran angin yang cukup kuat.

Dedaun buluh yang tersadai atas batu kubur terus berterbangan. Suara burung gagak, burung hantu dan suara kucing hutan mula kedengaran, saling bersahut-sahutan.

Mia masih macam tadi, terus menumbuk batu kuburan. Tiupan angin yang kuat membuat saya dan Andi Kamarool hampir jatuh.

"Hee..Hee...heee..." terdengar suara jeritan perempuan yang cukup keras dan tinggi sekali.

"Mia menjerit," hati kecil saya berkata sendirian.

Tetapi, akhimya saya yakin, itu bukanlah suara jeritan Mia. Jeritan itu datang dari sebelah kiri perdu buluh.

LEMAH

Tiupan angin beransur lemah dan akhirnya berhenti terus. Suara gagak turut hilang, begitu juga dengan suara burung hantu dan kucing hutan.

Rambut Mia yang menggerbang dan menutup wajahnya, kelihatan bergerak kembali kepada kedudukan asal.

Saya lihat rambut itu bergerak lembut, macam ada tangan halus yang membelainya dan tidak sampai lima minit rambut Mia nampak rapi dan cantik, seperti baru Iepas disikat atau disisir.

Kalau tadi Mia melepaskan tumbukan yang bertalu-talu ke arah batu kubur kini, tumbukan itu beransur lemah. Dia bagaikan sudah kehabisan tenaga.

Suasana yang tadi terasa seram dan amat menakutkan bertukar menjadi tenang dan damai, bagaikan tidak ada apa berlaku di sekitar kawasan kubur tersebut.

Tanpa diduga, Mia rebah terkulai di depan kubur.

"Bantu dia Andi."

"Jangan Tamar."

Saya menarik nafas mendengar kala-kata Andi Kamarool itu. Hati kecil saya kesal kerana dia tidak mahu membantu Mia.

Tidak berapa lama berselang, Mia kembali kepada kedudukan asalnya.

"Andi, harimau," terpancut kata-kata itu dari kelopak bibir saya.

"Tamar, ada mata tengok, ada telinga dengar. Jangan banyak tanya dan jangan banyak soal," bisik Andi Kamarool.

Sesungguhnya, saya tergamam dan terkejut melihat kemunculan seekor harimau besar dari arah belakang Mia.

Harimau itu menggoyang-goyangkan ekornya, menjilat-jilat badan dan telapak kaki kanannya. Begitu jinak dan manja sekali.

Di saat Mia memusingkan badannya untuk melihat saya dan Andi Kamarool, dengan sekelip mata harimau besar itu hilang dari pandangan.

Mia segera melangkah mendekati kami. Ketika itu hari sudah gelap.

"Bagaimana?" itu ungkapan pertama yang dilontarkan kepada kami.

"Maksud kamu?" soal Andi Kamarool.

"Iya, kamu sudah tengok sendiri dan terpulanglah kepada kamu berdua. Sama ada mahu percaya atau tidak.

"Sama ada mahu disimpan sendiri atau mahu diceritakan kepada orang lain."

Dalam cuaca gelap yang kian memberat itu, saya dan Andi Kamarool saling bertukar pandangan.

"Iya. Kami dah tengok Mia," ujar saya.

"Apa pendapat kamu berdua?"

'Tak berani nak beri pendapat," tingkah Andi Kamarool.

"Kalau sudah tak tahu nak beri pendapat, eloklah kita balik ke rumah. Waktu maghrib dah dekat."

"Ayuh," serentak saya dan Andi Kamarool menyokong.

Kami bertiga pun mengatur langkah pulang dalam suasana gelap yang kian memberat. Tetapi, di kaki langit masih ada awan jingga yang kian menipis. Dada langit masih cerah bersama awan putih yang berarak lembut.

Sebaik saja sampai di pintu rumah besar, sayup-sayup terdengar alunan suara azan maghrib yang datang dari perkampungan berdekatan.

"Masuk Tamar," pelawa Mia.

Saya keberatan untuk melangkah masuk. Tetapi, bila Andi Kamarool angkat kaki kanan untuk melangkah masuk ke rumah batu yang besar itu. Bahunya segera saya paut dari belakang.

"Kenapa Tamar?"

"Tunggu sampai azan habis."

"Oh, ya."

Andi Kamarool patuh dengan cakap saya. Dia tunggu sampai azan tamat tetapi, bila dia mahu melangkah kembali, saya segera bertindak macam tadi.

Ternyata tindakan yang saya buat menimbulkan keraguan dalam diri Andi Kamarool.

Dia kerutkan dahi sambil menatap wajah saya tanpa berkedip. Malah, Mia yang sudah berada di hadapan pintu rumah turut merasa aneh dengan tindak-tanduk yang saya lakukan itu.

"Kenapa Tamar? Kamu ni ganjil sungguh."

"Kita sembahyang di rumah papan."

Dialog antara saya dengan Andi Kamarool dapat didengar oleh Mia. Dia segera keluar dari rumah. Wajah saya dan Andi direnungnya berkali-kali.

"Jadi, kamu berdua tak mahu tidur di anjung rumah saya?"

"Ehhhhhh..." saya tidak meneruskan kata-kata.

"Kamu berdua takut?" susul Mia lagi.

"Tidak Mia, tapi Tamar."

Mia jegilkan biji matanya ke arah saya. Mukanya mula merah.

"Bukan takut, saya cuma ragu Mia," saya menyambung kembali percakapan yang terputus.

Alasan yang saya luahkan, kurang disenangi. Mia menarik dan melepaskan nafas lemah. Dia tersenyum, cuba menyembunyikan rasa hampa dari pengetahuan saya dan Andi Kamarool.

Ternyata usahanya itu tidak berhasil. Resah hatinya dapat disorot dari air mukanya.

"Sekarang cakap, apa yang kamu ragukan Tamar?" Mia minta kepastian.

"Entah, aku sendiri pun tak tahu Mia. Cara tiba-tiba saja, hati tak sedap, macam ada yang tak kena."

"Sepatutnya tidak begitu," kata Mia sambil merenung wajah saya dan Andi Kamarool, silih berganti.

"Semuanya sudah aku cakapkan, semuanya sudah aku tunjukkan, aku tak mahu berselindung.

"Aku tak mahu kamu berdua memikirkan perkara yang bukan-bukan pada aku. Walau apa pun, terpulanglah kepada kamu berdua," Mia mengakhiri kuliah pendeknya dengan sebuah keluhan.

TERPAKU

Saya dan Andi Kamarool terpaku sebentar. Tidak tahu bagaimana mahu menghargai kejujuran dan keikhlasannya. Saya dan Andi Kamarool sudah melukakan perasaannya.

"Sebenarnya begini Mia..." saya tidak dapat menyambung rangkaian kata selanjutnya.

Dan Mia mula melahirkan protesnya secara terang-terangan.

Dia melangkah dua tiga tapak ke depan (keluar dari pintu rumah) dan berhenti.

Dia besar, bila dia memusingkan badannya secepat kilat, bertentang wajah, bertentang mata dengan kami. Saya berdebar.

Sinar matanya cukup tajam dan garang, macam mata anak harimau jantan yang lepas.

"Sama ada kamu berdua nak tidur atau tidak, itu adalah hak kamu berdua. Cuma yang peliknya, tadi kamu berdua bersungguh-sungguh nak tidur di anjung rumah."

"Iya, kami faham," celah Andi Kamarool.

"Kamu berdua selalu berkata macam tu, sedangkan yang sebenarnya kamu berdua memang tidak faham," nada suara Mia agak keras.

"Begini Mia," Andi Kamarool terus bersuara.

"Begini apa lagi Andi. Aku dah bagitahu pada kamu berdua. Aku tak ada apa-apa. Apa yang terjadi dan apa yang kamu lihat semuanya terjadi di luar kemahuan aku. Ada masanya, aku sendiri tak tahu apa yang berlaku," Mia tidak putus asa, terus menerangkan kedudukan dirinya yang sebenar.

Kerana tidak mahu perkara itu berlanjutan. Saya segera menarik tangan Andi Kamarool mengajak pulang ke rumah papan.

"Sabar Tamar."

"Sabar apa lagi, Andi?"

"Tamar!!!"

Nada suara Andi Kamarool mula meninggi. Sepasang matanya menelanjangi seluruh wajah saya.

Kerana tidak rela konfrantasi jadi panjang, saya terus membisu dan bersedia mengikut rentaknya.

"Mia, kami berdua tak pernah memikirkan hal-hal yang buruk tentang diri kamu. Penjelasan kamu cukup jelas Mia.

"Kami faham apa yang terjadi bukan kemahuan kamu. Ada tenaga dari luar yang membuat kamu jadi begitu, kami simpati dengan nasib kamu Mia," penuh diplomasi Andi Kamarool bersuara.

"Aku harap penjelasan tu datang dari hati yang jujur. Aku juga berharap tak akan keluar dari mulut kamu cerita yang bukan-bukan tentang aku."

"Maksudnya?" pintas Andi Kamarool.

"Cerita yang mengatakan aku ni membela hantu jembalang, berkawan dengan orang halus dan ada pendinding diri dan macam-macam lagi."

"Kami berjanji tak akan membuat perkara yang mendatangkan aib pada seseorang," kata saya.

"Di harapkan janji yang dibuat tetap dipegang," Mia tersenyum senang.

Di saat dia mahu melangkah menuju ke ruang tamu rumah besar, Andi Kamarool terbatuk kecil (yang sengaja dibuat-buat).

"Kenapa Andi?"

"Malam ni kami tak dapal tunaikan janji. Malam esok Insya Allah, janji tu kami tunaikan."

"Saya tak kisah," kata Mia bersama ketawa kecil penuh manja.

Mia pun melangkah menuju ke arah pintu yang terdedah. Lagi sekali saya tersintak. Lampu diruang tamu menyala sendiri.

Sebaik saja Mia melepasi ambang pintu, secara mendadak daun pintu terkatup sendiri. Lagi sekali, saya dan Andi Kamarool berpandangan dengan seribu persoalan bersarang dalam dada.

Memanglah, kehidupan Mia dilingkari dengan misteri yang boleh memeningkan kepala.

SERIUS

Tanpa mahu memikirkan tentang diri Mia dengan serius, kami terus pulang ke rumah papan. Kepulangan kami disambut dingin oleh Haji Basilam dan Datuk.

Mereka baru sahaja selesai sembahyang maghrib. Tanpa mempedulikan kehadiran kami, mereka terus berwirid.

Saya dan Andi Kamarool bergegas ke bilik mandi. Bersihkan tubuh dan ambil air sembahyang.

Di saat kami mahu memulakan solat maghrib, datuk sengaja pura-pura batuk. Saya faham, itu tandanya datuk kurang senang dengan saya (mungkin juga dengan Andi Kamarool) kerana melambat-lambatkan waktu sembahyang.

Berpacu dengan waktu yang terhad, kami sempat juga menyelesaikan sembahyang yang dituruti dengan doa dan wirid pendek hingga selesai.

"Kenapa tak tidur di rumah Mia?"

Haji Basilam terus mendekati kami, meninggalkan datuk yang mula membaca Quran sementara menanti waklu Isyak tiba.

Tiada jawapan untuk pertanyaan tersebut. Saya berharap, pertanyaan itu akan mati begitu saja.

"Kamu berdua kena halau?" Haji Basilam memancing jawapan.

Kami berdua menggelengkan kepala.

"Kamu berdua takut?"

Saya menarik nafas dalam-dalam dan Andi terus mengerutkan keningnya.

"Agaknya kamu berdua ni takut," nada suara Haji mula meninggi dan renungannya cukup sinis.

"Tidak, kami tak takut," sahut Andi Kamarool.

"Kalau tak takut, kenapa kamu berdua balik?"

"Kami cemas Tuk Aji," itu alasan yang diluahkan oleh Andi Kamarool.

Memang tidak dijangka sama sekali, alasan yang diluahkan oleh Andi Kamarool membuat Haji Basilam termenung sejenak. Mungkin dia berfikir sesuatu.

Saya kira, tidak akan ada soalan susulan dari Haji Basilam tetapi, bila melihat dia menggelengkan kepala bersama senyum, saya segera membuat tanggapan yang perkara ilu tidak akan berakhir begitu saja.

"Kamu berdua nak batalkan rancangan yang sedia ada?"

"Kami tak niat macam tu Tuk Aji. Rancangan tu tetap kami teruskan Tuk Aji," kata saya. "Caranya?"

Sukar untuk saya menjawab pertanyaan Haji Basilam itu. Biarlah Andi Kamarool menyelesaikannya, fikir saya dalam hati.

Bahu Andi Kamarool segera saya lepuk. Dia senyum panjang tanda dapat menangkap maksud dari tindak tanduk saya itu.

Macam selalu, sebelum memberikan pendapat, dia terlebih dahulu mengerutkan kening dan dahinya. ltulah perangai Andi Kamarool yang tidak saya senangi. Sungguh membosankan.

Kalaulah tidak kerana suara datuk yang serak-serak basah itu membaca Quran, suasana sekitar terasa agak sepi sekali.

Padahal, malam masih muda benar (saya kira belum sampai jam sembilan).

Sekali-sekala di tengah-tengah suasana kesepian yang memanjang itu terdengar suara burung jampok yang diselang seli dengan salakan anjing.

Cengkerik bagaikan enggan menyanyi, begitu juga dengan katak. Tanpa suara anjing dan burung jampok yang muncul sekali-sekala, suasana terasa amal menjemukan.

Kerana tiada jawapan segera dari kami, Haji Basilam segera mengulangi pertanyaan. Dia mahu jawapan segera.

Dia mahu memastikan sama ada kami serius atau sekadar mahu melepaskan batuk ditangga.

"Bagaimana caranya, cakap sekarang."

"Kami bermalam, dua tiga malam lagi di sini," saya menjawab.

"Kamu tahu, aku dengan datuk kamu sudah buat keputusan nak berangkat ke Sungai Penuh, lepas sembahyang subuh pagi ni.

"Itulah sebabnya, aku suruh kamu berdua bermalam di rumah Mia malam ni."

"Ehhhh..." Andi Kamarool seperti mengeluh.

Dan suaranya mati di situ. Buat seketika, kami terus membatu dalam renungan sinis Haji Basilam.

"Begini, Tuk Aji dan datuk Tamar boleh teruskan perjalanan. Biar kami tinggal di sini. Kami nak jalankan apa yang sudah kami rancang," itu keputusan yang Andi Kamarool luahkan di depan Haji Basilam.

Saya lihat Haji Basilam tersentak. Air mukanya berubah sebentar.

"Berani?" sergahnya.

"Berani," jawab kami serentak.

"Tak memerlukan pertolongan?"

"Tak perlu. Kami sudah tahu, banyak perkara ganjil yang sudah kami tengok dan alami. Mia yang buka rahsia."

"Bila?" Haji Basilam jegilkan sepasang biji matanya.

"Petang tadi," kata saya.

"Iya Tuk Aji, dari petang sampai maghrib, pasal tu kami lambat sembahyang maghrib," Andi Kamarool menambah.

Haji Basilam gosok pangkal hidungnya berkali-kali. Tiada pertanyaan yang diajukan untuk kami.

Agaknya, Haji Basilam sedang menghitung apakah pengakuan kami itu benar atau sebaliknya.

KETUK

Secara mendadak, pintu rumah diketuk bertalu-talu dari luar. Siapakah tetamu yang tidak diundang itu?

Haji Basilam renung saya dan saya pula renung Andi Kamarool. Begitulah silih berganti, tidak ada siapa pun yang rela bangun untuk membuka pintu. Ketukan bertambah kuat dan bertalu-talu.

Datuk buat tidak kisah dengan apa yang berlaku. Dia terus membaca Quran. Haji Basilam mula resah sendiri.

Matanya tetumbuk ke arah daun pintu yang kelihatan bergerak-gerak seperti ditolak oleh tenaga yang luar biasa dari luar.

Saya kira yang menolaknya itu bukanlah manusia, mungkin binatang buas dan pada saat itu saya mula teringatkan harimau di bawah pokok buluh.

Kalau tadi, daun pintu itu diketuk, kini ditampar berkali-kali. Tidak ubah seperti harimau menampar tanah kerana kelaparan.

"Tamar, pergi buka pintu tu," suruh Haji Basilam.

Saya cuba bangun tetapi, punggung bagaikan terlekat di lantai rumah. Tiba-tiba saja saya menggigil, harimau terbayang di ruang mata.

"Apa lagi yang kamu tunggu, kata berani sangat. Pergilah buka pintu tu, Tamar," saya terus dicabar oleh Haji Basilam.

Antara rasa takut dan berani cabaran Haji Basilam terus disambut. Saya bangun dan melangkah ke pintu.

Bila selak dan kunci di angkat, daun pintu pun terkuak. Mia tercegat di depan mata menatang talam yang bertudung saji.

"Untuk makan malam," katanya sambil melangkah ke ruang tengah.

Hidangan yang ditatang diletakkan di situ. Haji Basilam senyum panjang, keresahan sudah Iari dari dirinya.

"Kenapa Mia goncang dan tampar pintu macam tu, buat ayah takut saja. Ayah ingat orang jahat tadi," begitu lembut Haji bersuara. Mia tercenggang.

"Saya tak goncang, saya tak tampar pintu rumah, saya ketuk saja. Saya panggil ayah berkali-kali, tak berjawab."

Jawapan yang diungkapkan oleh Mia membuat saya dan Andi Kamarool menarik nafas panjang.

Haji Basilam hanya mengangguk saja, tidak mahu melanjutkan pertanyaan.

Datuk yang sudah berhenti membaca Quran segera merenung ke arah kami tanpa memberi sebarang komentar.

"Saya ambil lagi satu hidangan."

"Tak payah Mia, ini dah cukup, buat apa susah-susah kerana kami," Andi Kamarool renung muka Mia yang tersenyum.

Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 171/284

BACA: SBDJ Siri 170: Di Bilik Misteri
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)

-Sentiasapanas.com

Loading...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SBDJ Siri 171: Mia, Gadis Harimau"

Posting Komentar